Pada anemia, kapasitas penghantaran O2 menurun, tapi oksigenasi jaringan tetap terjaga hingga kadar hemoglobin pada level 10 g per dL. Seiring dengan perkembangan anemia, perubahan untuk beradaptasi termasuk pergeseran pada kurva disosiasi oxyhemoglobin, perubahan pada hemodinamik, dan perubahan pada mikrosirkulasi.
Pergeseran ke arah kanan pada kurva disosiasi oxyhemoglobin pada anemia merupakan hasil dari peningkatan sintesa 2,3 diphosphoglycerate (2,3-DPG) pada sel darah merah. Pergeseran ke arah kanan ini memungkinkan lebih banyak O2 dilepaksan ke jaringan pada pO2 yang ada, untuk menutupi kerugian dari berkurangnya kapasitas pengangkutan O2 dalam darah.
Beberapa perubahan hemodinamik juga terjadi seiring dengan perkembangan anemia. Faktor utama yang menentukan pada respon kardiovaskuler adalah status volume pasien atau lebih spesifik, preload ventrikel kiri. Efek kombinasi dari hypovolemia dan nemia sering muncul sebagai hasil dari kehilangan darah. Anemia akut dengan demikian dapat mengakibatkan hipoksia jaringan atau anoksia melalui penurunan aliran darah (stagnan hipoksia) dan penurunan kapasitas penghantaran O2 (anemia hipoksia).
Tubuh pada dasarnya berusaha untuk menjaga penghantaran O2 ke organ vital dengan jalan meningkatkan cardiac output seperti dengan cara meningkatkan rangsangan simpatis pada arteri dan vena.sebagai tambahan, refleks sentral dan regional mendistribusikan aliran darah organ.
Sistem adrenergik memainkan peran pentingdalam menghantarkan darah menuju ke organ spesifik. Sistem hormon renin-angiotensin juga menstimulasi pengambilan air dan sodium. Kehilangan sekitar 5 – 15 % pada volume darah berakibat pada berbagai peningkatan pada denyut jantung saat istirahat, dan pengukuran tekanan darah diastolik.
Hipotensi ortostatik jug asering menjadi indikator sensitif pada kehilangan darah yang relatif sedikit yang tidak cukup untuk menyebabkan penurunan tekanan darah. Kehilangan yang lebih banyak akan mengakibatkan peningkatan yang progresif pada denyut jantung dan penurunan pada tekanan darah arteri berkaitan dengan perfusi yang rendah pada organ-organ akhir.
Peningkatan aktivitas simpatis membagi penurunan cardiac output menjauhi sirkulasi di kulit, tulang, untuk mengutamakan sirkulasi koroner dan otak. Respon kardiovaskuler dan sistemik pada kehilangan darah akut tidak sama dengan jumlah darah yang hilang tapi merupakan hasil modifikasi tiap pasien berdasar umur, penyakit yang pernah diderita, status volume yang ada sekarang, dan nilai hemoglobin, sama seperti kehilangan darah secara cepat.
Perubahan kompensatif pada cardiac output telah diteliti dan dikethaui sebagai konsekuensi kardiovaskuler atau normovolemic anemia. Saat volume intravascular meningkat mengikuti perkembangan anemia, (sebagai kebalikan dari anemia hiovolemik dan syok), peningkatan pada cardiac output telah dilaporkan secara konsisten.
Sebenarnya, hubungan timbal balik antara jumlah hemoglobin (atau hematokrit) dan cardiac output telah disepakati dan dikontrol dengan baik melalui penelitian laboratorium. Pada beberapa penelitian klinis, observasi yang sama telah dilakukan. Dilaporkan bahwa batas untuk mengetahui fenomena klinis yang utama dan melalui pemeriksaan laboratorium pada tingkat 7 – 12 g per dL.
Dua mekanisme utama telah disepakati sebagai proses fisiologis yang mendasari peningkatan cardiac output selama anemia normovolemik : a) pengurangan viskositas darah, b) peningkatan stimulasi simpatis pada efektor kardiovaskuler.
Viskositas darah menjadi efek utama baik pada preload dan afterload, yang merupakan dua faktor utama dari proses cardaic output sementara stimulasi simpatis primer meningkatkan kedua faktor, heart rate dan kontraktilitas. Sebagai kebalikan dari anemia normovolemik, efek dari viskositas darah muncul sebagai lawan pada keadaan ini.
Adaptasi Tubuh Terhadap Anemia
Dari data fisiologis, jelas bahwa tubuh dapat beradaptasi terhadap anemia. Respon adaptif yang terpenting dari sudut pandang fisiologi melibatkan sistem kardiovaskuler, yang terdiri atas meningkatnya Cardiac Output, dan redistribusi untuk membantu sirkulasi otak dan coroner, dengan mengorbankan vascular bed splanchnic.
Di pihak lain, masih terdapat sedikit penelitian klinis yang dapat menjelaskan bagaimana respon adaptif fisiologis normal dapat dipengaruhi oleh berbagai kondisi dan penyakit yang sering menyertai dan dapat mempersulit anemia, dan interaksi dengan variable-variable klinis penyerta lainnya.
Dengan kurangnya bukti-bukti kuat mengenai interaksi penyakit penyerta dan anemia pada berbagai populasi pasien, memahami konsekuensi fisiologis dari anemia saja, meskipun penting, masih belum cukup untuk memberi pedoman yang kuat dan rasional untuk keputusan pemberian transfusi pada contoh kasus-kasus klinis kompleks yang spesifik.
Dari ulasan singkat prinsip-prinsip fisiologis, jelaslah bahwa fungsi jantung harus menjadi pertimbangan utama dalam pembuatan keputusan mengenai transfusi pada anemia. Perhatian khusus harus diberikan pada kemungkinan adanya penyakit arteri koroner, atau tanda-tanda awal gagal jantung, karena kondisi-kondisi tersebut memerlukan transfusi yang seksama/berhati-hati untuk memperbaiki penghantaran oksigen pada level di mana pada kondisi lain tanpa penyakit jantung, intervensi tersebut tidak perlu dilakukan.
Pada saat ini, penelitian klinis dan eksperimental tambahan diperlukan untuk mengembangkan pedoman yang rasional dan komprehensif (menyeluruh). Penanganan yang konservatif dan bijaksana , yang didasarkan pada kesadaran akan risiko-risiko dan pemahaman mengenai fisiologi normal dan patologis harus tetap menjadi prinsip pedoman.
Data terbaik yang tersedia menunjukkan bahwa sebagian besar pasien dapat mentoleransi kadar hemoglobin hingga 7 sampai 9 gram/dL tanpa menderita efek samping akibat anemianya. Pasien-pasien dengan penyakit jantung akut dapat memerlukan kadar hemoglobin yang lebih tinggi, tetapi lebih banyak data yang masih diperlukan. Penggunaan rutin transfusi RBC pada tanpa indikasi fisiologis berhubungan dengan risiko yang jelas dan membatasi efikasi.